Ini sama sekali bukan rahasia karena Mourinho sendiri telah membangun persona demikian selama belasan tahun menjadi pelatih sepak bola.
Ketika Mourinho mengatakan sebuah hal sarat kontroversi, semua orang sudah bisa memakluminya karena, yah, orangnya memang begitu.
Namun, di tengah pemakluman itu, Mourinho tampaknya tak bisa berhenti membuat orang merasa kesal kepadanya.
Masa pramusim 2018/19 ini membuat mantan penerjemah Sir Bobby Robson itu jadi orang yang jauh lebih sulit ditolerir dibanding biasanya.
Tak tanggung-tanggung, sejak tur Manchester United ke Amerika Serikat dimulai, sang manajer sudah mengeluh enam kali. Setiap kali ada kesempatan untuk mengeluh, hal itulah yang dilakukan oleh Mourinho.
Awalnya, Mourinho cuma mengeluhkan soal bagaimana buruknya persiapan Manchester United karena banyak pemain yang masih absen lantaran baru saja bermain di Piala Dunia.
Hal itu makin diperparah dengan masalah visa yang menimpa Alexis Sanchez dan membuat pemain asal Cile itu terlambat berangkat ke Amerika.
Kritikan itu terdengar wajar. Sebab, Pep Guardiola pun mengeluhkan hal serupa. Biar bagaimana pun, jadwal Piala Dunia dan pramusim yang mepet memang bakal menyulitkan pelatih mana saja.
Namun, di saat Guardiola tampak sudah bisa legawa, Mourinho semakin tidak terkontrol. Bahkan, keluhan Mourinho kemudian menjurus ke ranah personal.Anthony Martial harus meninggalkan tur pramusim
Manchester United karena istrinya melahirkan. Tak seperti para pemain Tim Nasional (Timnas) Inggris yang berpatungan menyewakan pesawat pribadi ketika istri Fabian Delph melahirkan, Mourinho justru berkata, "Sekarang 'kan anaknya (Martial) sudah lahir. Ya, harusnya sekarang dia sudah di sini lagi, dong!"
Keluhan Mourinho tak berhenti sampai di situ. Usai timnya dibabat Liverpool 1-4, Mourinho mengatakan bahwa wajar saja timnya kalah karena dirinya banyak menurunkan pemain muda.
Padahal, usia rata-rata pemain United di laga itu lebih tinggi (26 tahun) dibanding Liverpool (25). Lalu, pria asal Setubal itu juga berujar bahwa jika dirinya orang Amerika, dia tidak akan sudi menonton pertandingan United.
Mourinho sendiri sebelumnya dikenal sebagai ahli pengalihan isu. Setiap kali ada masalah dalam timnya, dia akan melakukan atau berkata sesuatu yang magnitudonya berpotensi bisa jauh lebih besar ketimbang apa yang terjadi pada timnya.
Ini dia lakukan agar sorotan tidak jatuh pada para pemain di timnya. Akan tetapi, dengan ucapan-ucapan yang dia lontarkan di Amerika, sulit rasanya menerka apakah itu hanya pengalihan isu atau merupakan ungkapan rasa frustrasi sesungguhnya.
Liverpool sudah menghabiskan hampir 200 juta poundstserling untuk belanja pemain, Manchester City merasa sudah tidak perlu belanja banyak tetapi mereka masih memperkokoh skuat dengan mendaratkan Riyad Mahrez, sementara Chelsea dan Arsenal merekrut pelatih baru dengan pemain-pemain yang lebih segar.
Manchester United, sementara itu, masih begitu-begitu saja. Mereka memang sudah mendatangkan Fred. Akan tetapi, klub yang berdiri pada 1878 ini belum mengatasi masalah-masalah lain.
Sebagai contoh, Matteo Darmian mau mereka apakan? Apabila Darmian dijual, siapa gantinya? Lalu, akankah mereka membeli satu bek tengah baru dan kalau ya, siapa? Harry Maguire atau Toby Alderweireld?
Wajar jika Mourinho kemudian merasa frustrasi hingga akhirnya (mungkin) memilih untuk mengalihkan isu.
Akan tetapi, hal seperti ini sebetulnya bisa dihindari seandainya Manchester United memiliki satu orang yang secara khusus bertugas untuk membeli pemain alias seorang direktur olahraga.
Akhir Mei lalu, Manchester Evening News sebenarnya sudah mewartakan bahwa United akan menunjuk seorang direktur olahraga.
Akan tetapi, direktur olahraga di yang dimakud tidak akan punya wewenang dalam urusan transfer. Sebab, direktur olahraga di Manchester United adalah pengembangan dari jabatan sekretaris klub yang sebelumnya dipegang oleh John Alexander.
Kini, Alexander sudah pensiun dan restrukturisasi pun dilakukan di manajemen Manchester United. Peran Alexander, yang merupakan paman dari Trent Alexander-Arnold itu, dibagi ke dalam tiga peran berbeda, yakni sekretaris klub, direktur olahraga, dan kepala pengembangan sepak bola.
Saat ini United sudah punya sekretaris baru dalam diri Rebecca Britain dan jabatan kepala pengembangan sepak bola masih dipegang John Murtaugh.
Sebetulnya, Manchester United sekarang ini sudah memiliki sosok yang tugasnya kurang lebih sama dengan direktur olahraga, yaitu Ed Woodward. Akan tetapi, Woodward sendiri sudah punya tugas berat sebagai CEO.
Sehari-hari, Woodward selalu menjalin komunikasi dengan Mourinho entah itu lewat WhatsApp, Skype, Facetime, maupun dengan pembicaraan empat mata.
Secara sederhana, selain sebagai pelatih, Mourinho juga bertugas untuk mengidentifikasi apa saja kelemahan timnya dan seperti apa dia ingin timnya bermain. Dari sana, muncullah daftar beli yang akan dieksekusi oleh Woodward.
Pada 2012, dia ditunjuk menjadi anggota dewan direksi dan setahun berselang, ketika David Gill pensiun, pria 46 tahun ini ditunjuk menjadi CEO yang juga sekaligus berfungsi sebagai direktur olahraga.
Dengan tanggung jawab ganda seperti itu, tugas Woodward tentu saja menjadi berat.
Apalagi, pria satu ini tidak punya latar belakang sepak bola sama sekali. Selama lima tahun, satu-satunya senjata andalan Woodward adalah kemahirannya di bidang bisnis.
Relasi Mourinho-Woodward ini sebenarnya merupakan relasi tradisional yang ada di persepakbolaan Inggris.
Inilah mengapa, pelatih di Inggris disebut sebagai manajer karena dia memang mengurusi banyak hal, mulai dari melatih, mengidentifikasi kelemahan tim, sampai merekrut pemain. Celakanya, Mourinho rupanya bukan manajer yang hebat.
Sebagai pelatih, Mourinho adalah salah satu yang terbaik. Rentetan trofinya yang berjumlah 25 itu rasanya bisa menjadi bukti. Akan tetapi, dalam perjalanan kariernya baru kali ini dia tidak didampingi direktur olahraga.
Di Chelsea dia punya sosok Michael Emenalo, di Inter ada Marco Branca dan Lele Oriali*, lalu ada Zinedine Zidane dan Jorge Valdano di Real Madrid. Di United, Mourinho hanya seorang diri.
Peran Mourinho sebagai pelatih dan Woodward sebagai CEO itu sendiri saja sudah berat. Mereka seharusnya punya segudang alasan untuk merekrut satu orang yang secara khusus menangani perkara transfer.
CEO klub, pada akhirnya, memang bakal terlibat juga dalam urusan transfer karena dialah pemimpin operasional klub, tetapi keterlibatan CEO tidak akan masuk dalam aspek teknis. Inilah mengapa, direktur olahraga disebut juga sebagai direktur teknik.
United butuh sosok seperti itu, setidaknya sebagai pasang mata yang lebih segar untuk membantu Mourinho mengidentifikasi masalah dan menentukan pemain yang tepat. Hal seperti ini sudah lumrah terjadi di klub mana pun.
Di Juventus, misalnya, Massimiliano Allegri sebagai pelatih meminta direktur olahraga klub, Fabio Paratici, untuk mencarikan pemain yang sesuai dengan rencana permainannya.
Paratici yang sudah menerima laporan dari kepala pemandu bakat kemudian mencoba untuk mengontak pemain yang sekiranya bisa direkrut dan melaporkan hasilnya pada CEO Giuseppe Marotta.
Dari sana, jika Marotta merasa bahwa pemain yang bersangkutan masih memungkinkan dari segi finansial untuk direkrut, dia akan memerintahkan Paratici kembali untuk bernegosiasi dengan si pemain.
Dalam kasus spesial seperti Cristiano Ronaldo, Marotta harus terlebih dahulu berkonsultasi dengan presiden klub, Andrea Agnelli, tetapi dalam kasus biasa, kronologinya kira-kira seperti ini. Setelah itu, datanglah pemain yang sesuai dengan permintaan pelatih.
United butuh sosok seperti Paratici di Juventus, Leonardo Araujo di Milan, atau Txiki Begiristain di Manchester City. Kebutuhan ini sudah sangat mendesak karena United sudah tidak bisa lagi asal-asalan membeli pemain.
Sebagai catatan, dalam dua musim kepelatihan Mourinho, United sudah menghamburkan lebih dari 300 juta poundsterling. Ini belum termasuk 350 juta yang terbuang sia-sia pada era David Moyes dan Louis van Gaal.
Mourinho berdalih bahwa dia mengeluarkan banyak uang karena dia tak merasa cocok dengan pemain-pemain rekrutan Van Gaal.
Namun, pemain-pemain yang direkrut Mourinho sendiri tidak semuanya bisa menunjukkan performa apik.
Contoh paling jelas adalah bagaimana Sanchez hanya mencetak tiga gol dalam setengah musim perdananya bersama The Red Devils.
Sumber